Musak Musik, Musak Musik
“Pengaruh Literasi Musik di Era Digital Terhadap.....”
Artikel ini adalah konversi dari e-zine versi PDF.
Muhammad Andri Jatnika
H69420
Program Studi Polisi Skena
Fakultas Permusikan
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut KBBI, musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinam-bungan, dan arti lainnya adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu). Arti literasi dari yang saya kutip di KBBI juga ialah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Seperti yang telah kita ketahui meskipun mungkin dari beberapa dari kita tidak sadari, saat ini kita tengah hidup di dalam era digital. Era dimana hampir segala aspek kehidupan pasti ada sangkutpaut dengan digital. Sebagai contoh, dulu alat transaksi segala urusan hanya bisa melalui alat yang bernama uang (berbentuk kertas) sekarang dengan menggunakan QRIS atau transfer pun dapat dilakukan. Siapa yang menyangka dunia digital akan merambah ke pedagang gerobak di pinggir jalan ataupun toko umkm.
Begitu pula dengan musik, dulu kita hanya bisa mendengar melalui alat yang bernama Radio, lalu zaman semakin maju muncul lagi alat yang namanya Walkman, semakin maju lagi saat ini kita bahkan bisa mendengarkan musik melalui alat komunikasi seluler yang bernama Handphone. Ya, segila dan setidak terprediksi itu kemajuan digital.
Namun, kemajuan digital yang cepat dan cukup ganas tidak selaras dengan perkembangan kemajuan literasi masyarakat yang ada. Hal ini berdampak pada masyarakat itu sendiri yang tidak dapat menggapai level kemajuan digital dan musik yang telah berkembang pesat sehingga saat ini masih banyak masyarakat yang cukup awam dengan perkembangan musik dan digital.
Kondisi inipun juga selaras dengan segala hal dan peraturan yang ada di industri musik. Dari segi legalitas, “skena”, literasi musik itu sendiri, dan isu lainnya yang berdampak dan terpengaruh oleh musik. Kemajuan teknologi digital-musik dan kurang berkembangnya literasi masyarakat terhadap hal tersebut menjadi ketidaksinambungan antara digital-musik dan masyarakat.
Oleh karena itu, literasi musik di era digital adalah isu yang seharusnya diperhatikan, baik dari pelaku industri, pemangku kebijakan, maupun konsumen musik agar keselarasan antara musik di era digital dengan masyarakat berada di level yang sama, sehingga tidak terjadi kekacauan di masa mendatang.
Eksplorasi musik jauh lebih mudah dibanding zaman dulu. Pada zaman dulu yang dimana internet dan dunia digital belum familiar, para konsumen musik harus mengulik dari tempat yang sulit untuk dijangkau. Ada yang harus mendatangi toko musik, ada yang harus membeli majalah musik, ada yang harus berkumpul dengan pelaku musik terlebih dulu sehingga para konsumen musik ini bisa mendapat ‘hidayah’ dari para pelaku musik, dan lain sebagainya. Di zaman yang serba digital ini, hanya dengan bermodal handphone ditanganpun, seluruh cara yang saya sebutkan diatas tadi sudah dapat dilakukan. Anda bisa ke toko musik yang sudah berbentuk online, anda bisa beli majalah musik yang sudah berbentuk E-Magazine dan langsung dibaca dari handphone atau komputer anda, atau anda bisa berkenalan dengan para pelaku musik melalui akun media sosial mereka atau dengan bergabung grup pecinta musik seperti Music Enthusiast [Indonesia] di Facebook. Mudah sekali dibanding zaman dulu bukan?
Tentu saja bagi setiap orang, dari perbedaan cara tersebut menghasilkan ‘feel’ yang berbeda pula. Yang jelas, di zaman sekarang orang-orang mempunyai pilihan lain selain cara konvensional seperti zaman dulu. Tidak terbatas disitu, eksplorasi musik dengan menggunakan perangkat digital masih menyediakan banyak cara lagi dan tergolong mudah untuk dilakukan. Buka aplikasi seperti Youtube atau Spotify, aplikasi tersebut sudah menyediakan berbagai macam ragam jenis musik yang siap anda eksplorasi kapan saja, bahkan mereka menyesuaikannya untuk anda agar cocok dan sesuai dengan anda melalui teknik algoritma mereka.
Kemudahan akses yang disediakan oleh teknologi zaman sekarang tidak membuat puas semua orang. Ya namanya juga hidup, tidak bisa membuat semua pihak bahagia. Bagi beberapa orang, kemudahan akses tersebut malah dapat membuat orang tersebut tidak nyaman dan juga pusing. Saking banyaknya yang disediakan oleh kemudahan teknologi, bagi beberapa orang mereka malah tidak sanggup untuk mem-filter apa yang sebenarnya mereka inginkan karena terlalu banyak pilihan.
CREDITS dan HAKI
Dalam industri musik, terdapat yang namanya ”Credits” atau Hak Cipta. Di Amerika, hal seperti ini sangat krusial, mengingat peraturan disana memang ketat. Di Indonesia ada yang namanya HAKI atau Hak Kekayaan Intelektual. Namun di Indonesia, HAKI belum se-sempurna di negara maju dan masih seringkali menjadi perdebatan antara pelaku musik dengan pemangku kebijakan hingga hari ini. Yang paling baru ialah kasus antara Ahmad Dhani dari band Dewa 19 dan mantan Vokalisnya sendiri, Once yang mempermasalahkan HAKI tersebut. Saya tidak akan membahas permasalahan tersebut, hanya saja bisa dilihat sendiri, karena peraturan HAKI yang masih abu-abu dan juga kurang jelas jadinya sampai hari ini masih terus menjadi perdebatan.
Kalau ulas balik sedikit ke zaman 90-2000-an, para pelaku musisi Indonesia sangat tegas mempertahankan dan mengkampanyekan persoalan Hak Cipta. Entah itu di konser Live, di iklan, ataupun pada saat mereka promosi, pokoknya dimana mereka muncul pasti mereka selalu menyuarakan “Beli CD kita yang asli, jangan beli yang bajakan”. Ya, pembajakan pada era itu benar-benar berpengaruh pada pelaku musisi, yang karena hal tersebut keuntungan mereka menjadi tidak masuk ke mereka. Padahal yang saya ketahui, pada zaman tersebut sudah ada juga yang namanya HAKI,
sehingga seharusnya karya-karya para pelaku musisi ini dilindungi oleh badan hukum yang berlaku. Namun yang terjadi di lapangan, pembajakan masih saja marak. Masih ingatkah kalian zaman awal-awal 2010-an, dimana saat ini internet seperti baru booming di segala kalangan. Saya berani jamin, setidaknya pasti kalian pernah men-download lagu bajakan dari internet. Mau dari waptrick, indowebster, stafaband, dll lalu kalian menemukan mas-mas seperti di bawah ini.
Hal tersebut juga merupakan pembajakan yang memang seharusnya ilegal dan melanggar hukum yang berlaku. Tapi, kalian yang pernah melakukan hal tersebut tidak merasa bersalah kan? Tidak terjerat hukum apa-apa kan? Meskipun musisi yang lagunya di-download secara ilegal ini merasakan kerugian yang cukup besar karena hal tersebut. Ini sangat berpengaruh dari level literasi musik kita yang pada masa tersebut memang masih sulit untuk digapai, dan juga memang hukum di Indonesia yang kurang kuat sehingga yang seharusnya para penyedia jasa layanan bajakan ini melanggar aturan dan harus ditindak tetapi seperti tidak terjadi apa-apa.
Para musisi seringkali memohon-mohon kepada para penggemarnya untuk membeli kaset original mereka dan jangan beli yang bajakan bukan semata-mata untuk keuntungan material belaka. Musisi juga ingin karya mereka yang susah payah dibuat dihargai oleh para fansnya, yaitu dengan membeli hasil karya mereka, bukan yang bajakan. Bahkan saking parahnya perihal peraturan ini, ada beberapa musisi yang rela menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga untuk membela isu ini.
Zaman sudah berubah. Sekarang zamannya digital dan kaset fisik makin lama makin tergerus. Peraturanpun berkembang. Sekarang jamannya beli kaset bajakan di pasar mangga dua dan download ilegal seperti dulu contohnya sudah tidak relevan. Sekarang sudah ada platform yang menyediakan musik dengan legal seperti Youtube Music, Spotify, Apple Music, dll, Meskipun legal, sayangnya keuntungan yang diperoleh musisi dari platform tersebut terbilang sedikit dan tidak cukup. Sehingga, terjadi lagi deh carut marut terhadap credits dan HAKI. Ya, ini PR yang panjang, namun setidaknya sudah lebih baik....
SKENA JUGA A?
“Skena” hhhhmmmmm............................
Istilah ini sepertinya baru populer saat tahun 2020 keatas, namun secara gambaran, “anak skena” sudah ada dari dulu hanya saja menggunakan istilah yang berbeda. Ada yang menyebut anak acara, anak bayaran tv, sahabat dahsyat-inbox, hipster, anak gaul jaksel, sobat musik, anak ngonser/cah konser, dll. Welll, beberapa sebutan tersebut tidak semuanya relevan alias ada yang hanya bercandaan semata. Semua tergantung daerah asal dan era dimana kata-kata tersebut relevan.
Mengutip dari jawapos, skena dapat diartikan sebagai perkumpulan kolektif yang bisa menciptakan suasana untuk bercengkrama sampai berkelana bersama saat berkumpul. Dalam hal ini ialah skena musik atau skena konser. Menurut pendapat saya, karena memang saat pandemi semua orang hanya berada dirumah saja dan tidak dapat beraktifitas diluar, orang-orang menjadi sangat suntuk. Sehingga saat endemi, orang-orang suntuk tersebut akhirnya mendapatkan jatidiri mereka, salah satunya menjadi “anak skena” alias kalau gambaran saya pribadi ialah orang-orang yang suka berkumpul pada pagelaran musik.
Bagaimana tidak, dalam 3 tahun terakhir saat pandemi diam dirumah saja, pasti orang-orang sudah memikirkan dong, apa yang akan saya lakukan ketika pandemi ini berakhir? Akan jadi apa saya ketika pandemi ini berakhir? Yah kebetulan saja, keinginan yang terpendam dari beberapa orang ialah menonton konser secara langsung. Pandemi berakhir, aktifitas diluar ruangan diperbolehkan kembali, keinginan yang terpendam dari beberapa orang tadi akhirnya ‘meledak’ dan lahirlah “anak-anak skena” yang mungkin kalian dapatkan gambarannya juga lewat fyp tiktok, ataupun melihatnya secara langsung. Kurang lebih gambarannya seperti yang ada di cover lah.
Kebetulan lagi, “anak-anak skena” ini cenderung memiliki selera fashion yang seragam. Saya tidak bisa menyebutkan satu per satu karena yang namanya fashion sangatlah beragam, tapi kembali lagi kurang lebih gambarannya bisa dilihat seperti yang ada di cover. Menurut saya wajar saja, ya namanya juga perubahan zaman, setiap dekade pasti ada saja yang berubah di segala lingkup kehidupan, apalagi fashion. Masa iya fashion selama 10 tahun berikutnya akan sama terus?
Beberapa orang mulai terganggu dengan keberadaan istilah “anak skena” ini. Beberapa orang yang tergambarkan dengan stereotip “anak skena” ini merasa tersinggung sehingga mereka tidak dapat bebas mengekspresikan diri mereka. Apalagi muncul juga orang dengan istilah “polisi skena” yang lagi-lagi gambarannya bisa dilihat pada cover. Orang dengan stereotip yang cocok dengan “polisi skena” inipun juga tersinggung, mengapa ada istilah ini? Mengapa orang ini digambarkan oleh stereotip seperti ini? Percayalah, semakin berkembangnya zaman, bahasa yang ada juga dapat berubah-ubah. Seperti yang saya jelaskan pada awal artikel ini, dari berbagai era sudah ada kata-kata yang menggambarkan istilah “anak skena” pada eranya masing-masing. Jadi, bersabarlah saja. Lama kelamaan istilah skena ini juga ada berganti.
Tiktok dan media sosial lain juga berpengaruh pada istilah ini. Kemudahan bermedia sosial memudahkan siapa saja yang membukanya untuk melihat apa saja, literally apa saja. Dari yang disediakan platform menyesuaikan kebiasaan mereka melalui algoritma sampai apa yang benar-benar mereka ingin cari ataupun yang sebenarnya tidak ingin mereka cari akan tersedia disana. Lagi-lagi, kebetulan saja..... Semua orang diam di rumah, bingung mau apa, dan salah satu kegiatan rutin saat pandemi ialah membuka media sosial. Para konten kreator kebetulan membuat konten dengan tema yang sama, yaitu “skena”, lalu pada saat yang sama, memang “anak-anak skena” ini lahir karena keinginan orang-orang berekspresi tidak dapat dijalankan pada saat pandemi uang saat itu yang tak kunjung usai.
Tapi apa salah menjadi “anak skena” ? selama tidak menganggu orang lain, seharusnya tidak ada yang salah menekspresikan diri dan menjadi “anak skena”. Mengapa harus peduli dengan cemoohan orang yang bahkan tidak kalian kenal, atau membicarakan kalian hanya demi bahan obrolan mereka? Tidak perlu mempedulikan omongan orang, yang penting jangan sampai lupa diri kalian dan apa yang kalian mau!